(Biografi Sayyid Ahmad Bin Salim Al-Muhdhor Wates Tulungagung)
Ditulis Oleh: Yongki Pradana
NIM: 12321193035
Mahasiswa Jurusan MD Angkatan 2019
Dosen Pembimbing: Dr. Ahmad Nurcholis, M.Pd
Fenomena kerusuhan dan keretakan sosial yang terjadi pada masyarakat modern sering disebabkan oleh isu-isu SARA dan pemahaman agama yang dangkal. Konflik-konflik sosial yang tidak segera ditangani akan berdampak pada disintegrasi bangsa. Salah satu cara untuk mengatasi perpecahan yang terjadi antar umat beragama adalah dakwah sosial. Sebab tujuan dakwah sosial adalah perdamaian bukan permusuhan, mencari persamaan bukan perbedaan.
Urgensi dakwah sosial adalah membangun harmoni dan toleransi antar umat beragama khususnya bagi rakyat bagian bawah (grass root). Dakwah sosial bertujuan lebih menfokuskan pada pembangunan sosial ekonomi, sosial budaya, pendidikan, lingkungan hidup, dan sarana prasarana seperti membangun jembatan, jalan, sekolah, dan fasilitas umum. Masyarakat membutuhkan program dakwah yang bersifat konstruktif bukan dakwah yang bersifat interaktif belaka seperti ceramah agama, pidato, atau diklat keagamaan yang sebatas pembahasan teori, tanpa ada aksi dan perubahan nyata.
Peran Habaib dan Ulama’ sebagai ujung tombak dakwah sosial sangat diperlukan, sebab mereka sebagai motor penggerak dalam menyatukan umat beragama dalam membangun harmoni dan kerjasama antara umat beragama. Seperti dakwah sosial yang dilakukan oleh Syarif Abdurrahman Al-Kadrie dalam pembangunan masjid Jami’ di Kota Pontianak dan KH MA Sahal Mahfudz dalam mengentaskan kemiskinan di Kota Pati.
Salah satu Habaib dan Ulama’ di kabupaten Tulungagung Jawa Timur yang aktif menempuh metode dakwah sosial adalah Sayyid Ahmad bin Salim Al Muhdlor. Seorang figur pejuang sejati yang hadir dan telah mampu membangun harmoni dan toleransi umat beragama. Beliau terbukti telah banyak membangun fasilitas umum untuk masyarakat kabupaten Tulungagung, yaitu: jembatan, jalan, masjid, sekolah, pesantren. Beliau membangun jalan desa yang dulunya belum ada, membangun jembatan penghubung antar desa yang terpencil, dan membangun sekolah, sehingga terwujud pembangunan transportasi, pendidikan, akomodasi dan komunikasi antar desa di kabupaten Tulungagung. Ajaran dan pemikiran beliau antara lain: memberi contoh mengamalkan dan menekankan pada harmoni dan toleransi, serta kerukunan antar umat beragam, menegakkan sholat 5 waktu secara tepat waktu dan berjamaah dengan istiqomah, sholawat Nabi, dan ziarah makam para Wali.
Keistimewaan dakwah sosial yang dilakukan oleh Sayyid Ahmad bin Salim Al Muhdlor dibanding dengan strategi dakwah ulama’ lain yang hanya sebatas ceramah dan mauidzah hasanah (da’wah bil lisan). Diantaranya beliau mampu membangun jembatan, masjid, madrasah, sekolah, dan pesantren. Antara lain yaitu Masjid Riyadlul Jannah Desa Bendilwungu, Masjid Menoro Al Muhdlor, Masjid Nur Muhammad, Masjid Nabawi, Jalan dan Jembatan Podo, Jalan dan Jembatan Tempursari, Jalan dan Jembatan Ora Nyono, Jalan dan Jembatan Podo Rukun, Jalan dan Jembatan Podo Ngabdi, Pondok Pesantren Al Khoiriyyah, PAUD Emas, TK Islam Al Khoiriyyah, SD Islam Al Khoiriyyah, SMP Islam Al Khoiriyyah, dan SMK Islam Al Khoiriyyah.
Asumsi peneliti bahwa dakwah sosial mampu membangun harmoni, toleransi dan kerukunan umat beragama, diperkuat oleh pendapat Murodi Guru Besar dan Wakil Rektor Bidang Kerjasama UIN Jakarta dalam tulisannya yang berjudul “Dakwah dan Perubahan Sosial”. Murodi berpendapat:
“Diperlukan rumusan dakwah Islam yang strategis lagi taktis, sehingga dapat mengatasi persoalan kebuntuan terhadap dakwah Islam. Di samping itu, agar dapat melahirkan rumusan-rumusan dakwah Islam yang tidak hanya dapat dioperasionalkan dalam kenyataan sehari-hari masyarakat, namun yang terpenting adalah mampu memberikan guidence terhadap terjadinya proses perubahan di masyarakat.”
Asumsi tersebut juga diperkuat oleh Masmuddin dalam artikelnya pada tahun 2018 yang berjudul “Dakwah dalam Mewujudkan Interaksidan Kerukunan Antar Umat Beragama Di Palopo Sulawesi Selatan”. Masmuddin menjelaskan:
“Dakwah dilakukan untuk menambah pemahaman bagi penganut agama maupun masyarakat, hal ini dilakukan juga sebagai langkap preventif dari masuknya pemahaman tentang agama yang tidak benar. misi dakwah dilakukan untuk menjelaskan ajaran agama yang diyakininya dengan tujuan agar orang lain dapat memahami ajaran agama melalui dakwah yang disampaikan dan dapat diimplementasikan secara praktis dalam kehidupan sehari-hari, dan bukan hanya sekedar teori.”
Artikel ini diharapkan mampu memberikan kontribusi tentang wawasan, khazanah keilmuan, dan kajian teori serta aplikasi, manifestasi, dan implikasi tentang dakwah sosial yang mampu membangun harmoni, toleransi, dan kerukunan antar umat beragama di kabupaten Tulungagung pada khususnya, dan di Negara Kesatuan Republik Indonesia pada umumnya.
Berdasarkan fenomena di atas, maka peneliti ingin mengadakan penelitian dengan judul “Dakwah Sosial Sayyid Ahmad Bin Salim Al Muhdlor Dalam Membangun Harmoni Dan Toleransi Beragama Masyarakat Kabupaten Tulungagung” dengan harapan agar penelitian ini mampu memberikan kontribusi ilmiah serta dapat dijadikan pijakan dalam mengambil kebijakan untuk membangun harmoni sosial dan kerukunan umat beragama di Indonesia.
Al Habib As Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhlor lahir di Wates sekitar tahun 1912 M. Ayahnya salah satu kesatria Binotoro yaitu bernama Al Habib Salim bin Ahmad Al Muhdlor lahir dari Hadharalmaut Yaman. Dari ibu yang utama yang tinggal di tanah Wates, Sumbergempol, Tulungagung yang bernama Nyai Dewi Mutmainah.
Putra putri dari Romo kyai Hasan Sulaiman yaitu Hasan Jaya putra mantu dari Romo kyai Imam Tabut. Dan Romo kyai Imam Tabut yaitu salah satu yang lahir dari Tegal Sari, Ponorogo, Jawa Timur. Beliau termasuk prajurit Pangeran Diponegoro dari kasuran yudho dan Belanda selanjutnya belajar sampai datang di dusun Wates kecamatan Sumbergempol Kabupaten Tulungagung. Selanjutnya beliau membuat mushola dan mengajar ngaji ilmu agama di dusun Wates. Dan mushola dulu yang dibangun oleh Romo kyai Imam Tabut dulu sekarang sudah jadi masjid. Dan diberi nama “Masjid Nur Muhammad”.
Ayah Al Habib Salim bin Ahmad Al Muhdhlor. Sesudah menikah dengan ibu Dewi Mutmainah selanjutnya ke beliau di boyong ke Ampel Surabaya. Dan di Ampel dulu beliau berdua menjalani kehidupan suka dan duka babat awal satu bulan sampai tiga bulan, selanjutnya ibu tidak ada tamu lagi alias sudah hamil. Zaman itu hamil sudah berusia 8 bulan selanjutnya ibu di boyong ke Wates lagi. Dan mau melahirkan di dusun Wates. Zaman itu hamil tepat usia 9 bulan. Dan ibu dewi Mutmainah melahirkan anak pertama putri, selanjutnya diberi nama Dewi Fatimah. Selanjutnya di tahun ke dua beliau ibu melahirkan lagi, lahir anak laki-laki, yaitu beliau Al Habib As Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhlor.
Waktu beliau umur 2 bulan ibu bersma putra putri ke Ampel Surabaya lagi untuk menjalani kehidupan di Ampel sampai beliau Romo dan ibu meninggal, dan dimakamkan di makam Qoba’ Ampel Surabaya.
Dikarenakan kesukaan Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhlor berziarah ke makam para Auliya’, menyebabkan beliau jarang pulang ke rumah tetapi hanya berkelana saja. Beliau ingin mendapat jawaban atas beberapa pertanyaan seputar kehidupan di dunia ini. Antara lain: (1) Siapa sebenarnya saya ini ? (2) Siapa yang menciptakan saya ? (3) Apa perintah yang saya dapatkan ketika berada di dunia ini ? (4) Di mana tempat saya setelah kemaatian nanti ?.
Keinginan yang dalam untuk mengetahui jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di atas dijalani oleh Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhlor dengan semangat dan keberanian yang tinggi. Dalam pencarian tersebut, Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdlor melewati perjalanan siang dan malam, menembus gunung dan jurang, sampai masuk dalam hutan belantara.
Ketika masuk tahun 1938 M dan berumur 26 tahun- walaupun masih mempunyai keinginan tinggi untuk berkelana- secara mendadak Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhlor diutus ayahnya untuk menikahi seorang putri dari Kriyan, Surabaya yang bernama Dewi Mu’awanah. Karena keta’dziman Sayid Ahmad dengan ayahnya, beliau rela menikah dengan Dewi Mu’awanah walaupun sesungguhnya dirasakan dengan berat hati.
Pada tahun 1946 M setelah kemerdekaan negara Indonesia, prajurit Belanda datang ke Surabaya dengan maksud menjajah kembali. Kedatangan prajurit Belanda dilawan khususnya oleh rakyat Surabaya dan umumnya rakyat Indonesia. Para ulama’ Nahdlatul Ulama Jawa Timur dan rakyat Indonesia mendirikan prajurit santri yang bernama “Hizbullah”. Rumah Sayid Ahmad Bin Salim Al Muhdhlor dijadikan sebagai tempat tinggal para prajurit Hizbullah. Beliau pula yang mempersiapkan makanan untuk para prajurit Hizbullah. Dikarenakan persediaan makanan yang menipis, Sayid Ahmad pergi ke luar rumah untuk mencari segala sesuatu yang dibutuhkan para prajurit hingga mencapai kota Kriyan.
Selepas perginya beliau ke Kriyan, para prajurit Belanda menangkap Sayid Ahmad dan memenjarakannya. Pada awalnya, Sayid Ahmad masih diperbolehkan untuk menjalankan shalat lima waktu walau dalam kawalan prajurit Belanda namun pada selanjutnya Sayid Ahmad dilarang total. Ketika tidak diperbolehkan menjalankan shalat, Sayid Ahmad merasa berat dan mengadu kepada nenek moyangnya, tidak lain ialah Rasulullah Saw.
Sayid Ahmad bermunajat kepada Allah Swt. seraya berdoa,”Ya Allah Rabbi, apa dosa yang hamba perbuat sehingga hamab tidak diperkenankan untuk menghadap dan menyembahMu ya Rabbi?. Jika penyebab semua permasalahan ini adalah karena dosa yang hamba lakukan, maka semoga Engkau memberikan pengampunan pada hamba. Jika penyebab semua permasalahan ini adalah karena kedzholiman, semoga Engkau memberikan keadilan dengan seadil-adilnya”.
Setelah Sayid Ahmad bermunajat, pada malam harinya muncul sesosok orang yang tidak dikenal mindak2 prajurit Belanda untuk mengeluarkan Sayyid Ahmad dari penjara. Orang itu berkata,”sekarang keluarlah dan pergilah yang jauh!”. Keesokan harinya, posko prajurit Belanda terkena meriam dan kabesem semuanya. Alhamdulillah, Sayid Ahmad masih diberikan keselamatan oleh Allah Swt.
Setelah Sayid Ahmad keluar dari penjara, ia pergi ke arah selatan hingga sampai ke kota Tulungagung. Sayid Ahmad bertemu dan tinggal bersama seorang Kyai bernama ‘Abd Hadi di desa Bendilwungu, Sumbergempol yang ketika ditelusuri ternyata masih mempunyai hubungan darah dengan buyut Hasan Jayabaya, Wates Sumbergempol.
Karena Sayid Ahmad menyukai olah kebatinan- yang maksudnya adalah memurnikan sukma, cipta, rasa, dan karsa yang termuat di dalam raga yang kaumbyungan rizki, derajat, dan ilmu, murni dan mituhu kepada cahaya fitrah yang mengajak minangkani firman Allah Yang Maha Kuasa, kajumbuh aken dengan budi pekerti Rasulullah yang menjadi suri tauladan- maka Sayyid Ahmad merasa betah berada di Tulungagung karena Tulungagung adalah puser ipun batus dan samuderanya kesempurnaan.
Selanjutnya istri Sayyid Ahmad yang bernama Dewi Mu’awanah dibawa ke Tulungagung akan tetapi merasa tidak betah sehingga Dewi Mu’awanah minta untuk dipulangkan ke Kriyan. Setelah istrinya pulang, Sayid Ahmad bertemu dengan seorang wanita yang bernama Dewi Manikah yang sama-sama berasal dari Kriyan. Sayid Ahmad menikahi Dewi Manikah yang kemudian diajak tinggal bersama di Tulungagung. Bersama istrinya ini, Sayid Ahmad mempunyai enam (6) putra yaitu:
Sedangkan bersama Dewi Muslimah yang berasal dari Rejotangan Tulungagung, Sayid Ahmad mempunyai enam tiga (3) yaitu:
Sepeninggal Dewi Kadamasih dan Raden Fatah, tak banyak penduduk yang mengetahui jika di Surabayailir terdapat tempat bersejarah. Namun, Habib Sayid Ahmad bin Salim al-Muhdlor—ulama asal Wates, Sumbergempol, Tulungagung, Jawa Timur, yang senang mengembara—justru penasaran dan mencoba mencari kebenaran kabar itu.
Pada 1967, anak dari Habib Salim bin Ahmad Muhdlor, asal Hadralmaut, Yaman, itu nekat menerobos hutan hingga sampai di telaga angker, tempat Raden Fatah lahir. Dia semakin penasaran karena setiap orang yang menoleh telaga maka kepalanya tidak bisa kembali ke posisi semula dan setiap penebang pohon akan mati seiring robohnya batang kayu.
Karena itu, dia berkhalwat berhari-hari di atas sebatang pohon yang roboh dan menjorok ke telaga. Di atas kayu berdiameter sekitar dua meter itulah, Sang Waliyulllah tinggal; siang berpuasa dan malam bermunajat kepada Allah Swt. Dia ingin mengetahui mengapa Tuhan menakdirkan tempat itu begitu mengerikan.
Hasilnya, dia mendapatkan jawaban bahwa keangkerannya adalah untuk melindungi Dewi Kadamasih dan bayi yang dikandungnya dari kejahatan, terutama kejaran bala tentara Girindawardhana.
Sayid Ahmad pun jadi ingin berlama-lama di lokasi itu. Apalagi, setelah mengetahui sekitar 200 meter ke Samudera Hindia, terdapat makam seorang waliyullah, nenek moyang dari Sunan Gunungjati Cirebon. Dia pun membuat tempat shalat di sisi timur makam.
Bahkan, dia ingin penderitaan Dewi Kadamasih juga dirasakan istrinya. Ny. Mar’atus Shalihah dimintanya tinggal di sana tanpa bekal. Untuk berteduh, hanya dibuatkan tebing yang dilubangi sehingga mirip gua.
Beberapa tahun kemudian, sejumlah penduduk mulai mengetahui keberadaan ulama kelahiran 1912 ini. Mereka memberanikan diri mendekat bahkan membuatkan gubuk untuk tempat tinggal. Bahkan, mereka kemudian memberikan tanah seluas delapan kilometer persegi, yang di tengahnya terdapat telaga itu.
Setelah jumlah pengikutnya semakin banyak, Sayid Ahmad mengajak penduduk untuk merawat makam nenek moyang Sunan Gunungjati. Lalu, tempat shalatnya di sisi timur makam dijadikan masjid. Dari situlah dia kemudian mensyiarkan dan mengajarkan Islam kepada penduduk.
Uniknya, Waliyullah ini punya kebiasaan membuat ribuan batu bata. Hasilnya, meskipun tidak memiliki kekayaan apa pun, tidak pernah dijual. Bahan bangunan itu diperuntukkan membangun apa saja guna kepentingan umum. Masjid, madrasah, dan jembatan di sekitarnya dibangun dengan hasil karyanya itu.[1]
Daftar nama masjid – masjid yang dibangun oleh Sayyid Ahmad Bin Salim Al-Muhdhor :
1. Masjid Riyadhul Jannah Desa Bendilwungu Tulungagung
2. Masjid Nur Muhammad ( Masjid Menoro Al Muhdlor ) Ds. Wates Tulungagung
3. Masjid Nur Muhammad kampung Kolwah Desa Surabaya Hilir Lampung Tengah Sumatra
4. Masjid Nabawi Ds Bendilwungu Tulungagung
Daftar nama Jalan dan Jembatan antar desa yang dibangun oleh Sayyid Ahmad Bin Salim Al-Muhdhor :
1. Jalan dan Jembatan PODO ( 1996 ), menghubungkan desa Wates – desa Junjung Tulungagung.
2. Jalan dan Jembatan TEMPURSARI, menghubungkan desa Wates – desa Podorejo Tulungagung
3. Jalan dan Jembatan ORA NYONO, menghubungkan desa Wates – desa Bendilwungu Tulungagung
4. Jalan dan Dua Jembatan PODO RUKUN yang menghubungkan antar desa Wates.
5. Jalan dan Jembatan PODO RUKUN 2, menghubungkan desa Podorejo – desa Bendilwungu Tulungagung
6. Jalan dan Jembatan PODO NGABDI, menghubungkan desa Bendilwungu – desa Mirigambar Tulungagung.
Pertama, strategi dakwah yang diusung oleh Sayid Ahmad bin salim Al Muhdlor adalah adalah membangun masjid dan jembatan. Hal tersebut dibuktikan dengan adanya tiga bangunan utama yang mampu menyatukan masyarakat kabupaten Tulungagung khususnya dalam membangun harmonisasi keagamaan dan toleransi antar umat beragama yaitu pembangunan jembatan, masjid, madrasah, sekolah, dan pesantren di wilayah kabupaten Tulungagung yang dapat dimanfaatkan oleh seluruh pemeluk agama dan kepercayaan di Tulungagung.
Kedua, Ajaran-ajaran yang disampaikan oleh Sayid Ahmad tentang toleransi dan harmonisasi antar umat beragama telah banyak dianut dan dilaksanakan oleh pemeluk agama di kabupaten Tulungagung. Di antaranya : a) Membantu dan Melayani siapapun dengan ikhlas tanpa memandang agama apa yang dianutnya. b) Berbuat adil kepada siapapun. c) Menghormati ajaran agama lain.
Affandi, N. (2012). Harmoni dalam Keragaman (Sebuah Analisis tentang Konstruksi Perdamaian Antar Umat Beragama). Lentera, XV(1), 77–84.
Arifin. (2004). Psikologi Dakwah suatu pengantar studi (VI). Jakarta: PT Bumi Aksara.
Arifin, B. (2016). Implikasi Prinsip Tasamuh (Toleransi) dalam Interaksi antar Umat Beragama. Fikri: Jurnal Agama, Sosial D an Budaya, Institut Agama Islam Ma’arif NU Metro Lampung, 1(2). Retrieved from http://journal.iaimnumetrolampung.ac.id/index. php/jf/article/view/20
Arifuddin, A. (2013). Sosiologi Dakwah. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
AS, E., & Aliyuddin. (2009). Dasar-Dasar Ilmu Dakwah: Pendekatan Filosofis dan Praktis. Bandung: Widya Padjadjaran.
Aziz, M. A. (2012). Ilmu Dakwah (Revisi Cet). Jakarta: Kencana. Badan Litbang dan Diklat. (2013). Survey Nasional Kerukunan Umat Beragama. (H. A. Ahmad, Ed.). Jakarta: Badan Litbang dan Diklat Puslitbang Kehidupan Keagamaan Kementerian Agama RI.
BM, S. A. (2014). Konflik Sosial dalam Hubungan antar Umat Beragama. Jurnal Dakwah Tabligh, 15(2). https://doi.org/https://doi.org/10.24252/jdt.v15i2.348
Bungin, B. (2008). Sosiologi Komunikasi Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat (III). Jakarta: Kencana Prenadamedia Group.
Cangara, H. (2011). Komunikasi Politik: Konsep, Teori dan Strategi (III). Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Effendy, O. U. (2006). Komunikasi Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosdakarya.
Gerungan, W. A. (1980). Psyhologi-Sosial Suatu Ringkasan. Bandung: Eresco.
Haryanto, J. T. (2013). Kontribusi Ungkapan Tradisional dalam Membangun Kerukunan Beragama. Walisongo: Jurnal Penelitian Sosial Keagamaan, 21(2). Retrieved from http://www.journal.walisongo.ac.id/index.php/walisongo/article/view/250
Hasim, H. (2016). Flow di Era Sosmed: Efek Dasyat Mengikat Makna. Bandung: PT Mizan Pustaka.
Ilaihi, W. (2010). Komunikasi Dakwah (1st ed.). Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Jumantoro, T. (2001). Psikologi Dakwah dengan aspek-aspek kejiwaan yang Qur’ani (1st ed.). Wonosobo: Amzah.
Madjid, N. (1993). Nurcholis Madjid, “Beberapa Renungan Tentang Kehidupan Keagamaan untuk Generasi Mendatang. Jurnal Ulumul Qur’an, 1(IV), 4.
Masykur. (2009). Pola Komunikasi Antar Umat Beragama. In Makalah Annual Conference Departemen Agama (p. 1). Jakarta: Departemen Agama.
Nata, A. (2001). Peta Keragaman Pemikiran Islam di Indonesia. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada.
Pimay, A. (2005). Paradigma Dakwah Humanis (1st ed.). Semarang: RaSAIL.
Sasono, A., Hafidhuddin, D., & Saefuddin, A. M. (1998). Solusi Islam atas Problematika Umat (1st ed.). Jakarta: Gema Insani Press.
Shihab, A. (1998). Islam Inklusif Menuju Sikap Terbuka dalam Beragama (IV). Bandung: PT Mizan Pustaka.
Shihab, M. Q. (1992). Membumikan al-Quran (III). Bandung: Mizan.
[1]http://tulunlampung.blogspot.com/2010/08/jejak-islam-di-lampung-17-habib-sayid.html diakses pada tanggal 27 Januari 2020 jam 11.41 WIB
[2]Wawancara dengan K. Sunar desa Wonorejo kec. Sumbergempol kab. Tulungagung pada hari Rabu tanggal 6 November 2019 pukul 10.00 WIB di kediaman K. Sunar
[3]Living Etnografi peneliti bersama K. Hasyim bin Ahmad Ketua Syuriah NU Kec. Besuki Tulungagung selama bulan November sampai Desember 2019